KERAJINAN BATIK KHAS PONOROGO
Solopos.com, PONOROGO — Kerajinan kain batik tulis di Ponorogo sudah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia atau sekitar tahun 1921.
Pada saat itu, kain batik khas Ponorogo memiliki motif burung merak, dadak merak, reog, dan singa. Motif itu merupakan simbol identitas Ponorogo yang sejak dahulu telah mengenal kesenian reog.
Ciri khas lain kain batik Ponorogo yaitu memiliki warna gelap dengan pewarna alami. Warna gelap itu mengadopsi warna pakaian warok yang ada di kesenian Reog yang didominasi warna gelap. Namun, saat ini batik tulis khas Ponorogo ini sudah jarang ditemui.
Salah satu pembatik yang masih eksis dan secara konsisten mempertahankan ciri khas batik Ponorogo yaitu Mariyana, 62. Dia memiliki tempat produksi dan butik yang juga menggunakan namanya sebagai brand hasil karyanya.
Mariyana adalah salah satu anak penggagas batik khas Ponorogo pada tahun 1921. Ayahnya yang bernama Faisoludin bersama sejumlah teman menciptakan ikon Kota Reog berupa batik motif merak dan atribut kesenian Reog.
Hingga saat ini, Mariyana masih menekuni keahlian membatik yang diwariskan sang ayah. Meski terus menciptakan motif baru seperti motif kontemporer dan motif abstrak, dia tidak pernah meninggalkan motif khas Ponorogo.
Menurut Mariyana, motif merak, reog, singa, dan berbagai atribut kesenian reog merupakan jati diri dan ciri khas kain batik asal Ponorogo. Sehingga, ketika itu hilang dan digantikan motif yang baru tentu akan mengurangi nilai jual batik khas Ponorogo.
Meski saat ini kain batik di berbagai daerah sudah diproduksi massal dengan harga murah, dia berkomitmen tidak akan membuat batik khas Ponorogo dengan cara printing.
“Saat ini baju batik ada yang senilai Rp35.000/potong, ini karena kain batik menggunakan printing bukan dibatik secara tradisional. Kalau saya berkomitmen tidak memproduksi dengan printing,” ujar dia saat berbincang dengan Madiunpos.com di rumahnya di Jl. Semeru No. 30 Kelurahan Nologaten, Kecamatan Ponorogo, Rabu (4/5/2016).
Ia mengaku setiap motif yang dibuat biasanya dikeluarkan dengan edisi terbatas, sehingga kain batik tersebut tidak terkesan pasaran. Dia mengatakan paling banyak mengeluarkan satu motif dengan 650 potong, sedangkan untuk rata-rata kain batik karyanya hanya dikeluarkan 20 potong per motif.
Untuk harga kain batik buatannya yaitu mulai dari Rp100.000/potong hingga Rp1 juta/potong. Dia juga menjual baju batik dengan harga sekitar Rp150.000/potong disesuaikan dengan motifnya.
Mengenai ciri khas, ujar dia, sejumlah konsumen telah mengenal hasil karyanya melalui cengkok dalam membatik. “Jadi, ada sebagian orang yang tahu bahwa batik itu karya saya dari hanya melihat cengkok motif batiknya,” ujar dia.
Mariyana menceritakan pada tahun 2009, dirinya pernah diminta Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Mesir untuk mendemonstrasikan membatik di depan ratusan orang Mesir. Selain itu, dia juga pernah ke Siria juga memenuhi undangan untuk mendemonstrasikan membatik.
Dalam menjalankan usahanya, ibu tiga anak ini dibantu oleh 30 pembatik yang merupakan warga Ponorogo. Mereka yang membantu Mariyana saat mendapatkan banyak orderan dari konsumen.
“Banyak wisatawan baik lokal maupu mancanegara yang saat berkunjung ke Ponorogo biasanya mampir ke butik saya untuk membeli batik motif khas Ponorogo untuk dijadikan buah tangan,” jelas dia.
Solopos.com, PONOROGO — Kerajinan kain batik tulis di Ponorogo sudah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia atau sekitar tahun 1921.
Pada saat itu, kain batik khas Ponorogo memiliki motif burung merak, dadak merak, reog, dan singa. Motif itu merupakan simbol identitas Ponorogo yang sejak dahulu telah mengenal kesenian reog.
Ciri khas lain kain batik Ponorogo yaitu memiliki warna gelap dengan pewarna alami. Warna gelap itu mengadopsi warna pakaian warok yang ada di kesenian Reog yang didominasi warna gelap. Namun, saat ini batik tulis khas Ponorogo ini sudah jarang ditemui.
Salah satu pembatik yang masih eksis dan secara konsisten mempertahankan ciri khas batik Ponorogo yaitu Mariyana, 62. Dia memiliki tempat produksi dan butik yang juga menggunakan namanya sebagai brand hasil karyanya.
Mariyana adalah salah satu anak penggagas batik khas Ponorogo pada tahun 1921. Ayahnya yang bernama Faisoludin bersama sejumlah teman menciptakan ikon Kota Reog berupa batik motif merak dan atribut kesenian Reog.
Hingga saat ini, Mariyana masih menekuni keahlian membatik yang diwariskan sang ayah. Meski terus menciptakan motif baru seperti motif kontemporer dan motif abstrak, dia tidak pernah meninggalkan motif khas Ponorogo.
Menurut Mariyana, motif merak, reog, singa, dan berbagai atribut kesenian reog merupakan jati diri dan ciri khas kain batik asal Ponorogo. Sehingga, ketika itu hilang dan digantikan motif yang baru tentu akan mengurangi nilai jual batik khas Ponorogo.
Meski saat ini kain batik di berbagai daerah sudah diproduksi massal dengan harga murah, dia berkomitmen tidak akan membuat batik khas Ponorogo dengan cara printing.
“Saat ini baju batik ada yang senilai Rp35.000/potong, ini karena kain batik menggunakan printing bukan dibatik secara tradisional. Kalau saya berkomitmen tidak memproduksi dengan printing,” ujar dia saat berbincang dengan Madiunpos.com di rumahnya di Jl. Semeru No. 30 Kelurahan Nologaten, Kecamatan Ponorogo, Rabu (4/5/2016).
Ia mengaku setiap motif yang dibuat biasanya dikeluarkan dengan edisi terbatas, sehingga kain batik tersebut tidak terkesan pasaran. Dia mengatakan paling banyak mengeluarkan satu motif dengan 650 potong, sedangkan untuk rata-rata kain batik karyanya hanya dikeluarkan 20 potong per motif.
Untuk harga kain batik buatannya yaitu mulai dari Rp100.000/potong hingga Rp1 juta/potong. Dia juga menjual baju batik dengan harga sekitar Rp150.000/potong disesuaikan dengan motifnya.
Mengenai ciri khas, ujar dia, sejumlah konsumen telah mengenal hasil karyanya melalui cengkok dalam membatik. “Jadi, ada sebagian orang yang tahu bahwa batik itu karya saya dari hanya melihat cengkok motif batiknya,” ujar dia.
Mariyana menceritakan pada tahun 2009, dirinya pernah diminta Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Mesir untuk mendemonstrasikan membatik di depan ratusan orang Mesir. Selain itu, dia juga pernah ke Siria juga memenuhi undangan untuk mendemonstrasikan membatik.
Dalam menjalankan usahanya, ibu tiga anak ini dibantu oleh 30 pembatik yang merupakan warga Ponorogo. Mereka yang membantu Mariyana saat mendapatkan banyak orderan dari konsumen.
“Banyak wisatawan baik lokal maupu mancanegara yang saat berkunjung ke Ponorogo biasanya mampir ke butik saya untuk membeli batik motif khas Ponorogo untuk dijadikan buah tangan,” jelas dia.
Komentar
Posting Komentar